CARA BERTAUBAT
Taubat, Muara Terindah bagi Seorang Hamba
Laksana musafir yang singgah sejenak di suatu tempat, sekedar untuk
beristirahat dan mengumpulkan bekal, lalu melanjutkan perjalanannya
kembali hingga sampai ke tempat tujuannya. Demikianlah hakikat kehidupan
manusia di muka bumi ini, bahwa setiap kita hakikatnya adalah musafir
yang sedang berjalan menuju kampung kita yang sejati, yaitu negeri
akhirat yang kekal.
Maka sudah sepantasnya kita mempersiapkan diri dan berbekal dengan
ketakwaan untuk kehidupan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan yang
tidak ada kematian lagi setelahnya, yang ada hanyalah kebahagian
selama-lamanya ataukah sebaliknya: adzab yang panjang.
Namun sudah menjadi tabiat manusia tergelincir dalam dosa, padahal
tidaklah manusia itu diciptakan kecuali semata-mata untuk beribadah
kepada Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Maka tatkala seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan, hendaklah
ia segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan
kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di
masa datang. Inilah suatu amalan besar yang dinamakan dengan taubat.
Makna Taubat
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menerangkan, “Makna taubat secara bahasa adalah kembali, sedangkan
menurut perngertian syar’i taubat adalah kembali dari maksiat kepada
Allah Ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Dan taubat yang paling agung
serta paling wajib adalah taubat dari kekafiran kepada keimanan.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَف
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti
(bertaubat dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa
mereka yang telah lalu.” (
Al-Anfal: 38)
Kemudian tingkatan taubat berikutnya adalah taubat dari dosa-dosa
besar, berikutnya taubat dari dosa-dosa kecil. Dan wajib bagi setiap
manusia untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setiap
dosa.” (
Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/38)
Kewajiban Bertaubat
Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً
نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nashuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu
akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (
At-Tahrim: 8)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (
An-Nur: 31)
Dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
عن الأَغَرِّ بنِ يسار المزنِيِّ – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ
رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – : ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا
إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ))
رواه مسلم
Dari al-Agar bin Yasar radhiyallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia,
bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya
dalam sehari seratus kali.” (
HR. Muslim, no. 7034)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
“Para Ulama telah sepakat (ijma’) atas wajibnya taubat, karena
perbuatan-perbuatan dosa dapat membinasakan pelakunya dan menjauhkannya
dari Allah Ta’ala, maka wajib menghindarinya dengan segera.”
Jadi, kewajiban taubat harus dilaksanakan dengan segera dan tidak
boleh ditunda-tunda, karena semua perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
shallallahu’alaihi wa sallam harus dilaksanakan dengan segera jika tidak
ada dalil yang membolehkan penundaannya. Bahkan para ulama menjelaskan
bahwa menunda taubat merupakan suatu perbuatan dosa yang membutuhkan
taubat tersendiri.
Syarat-syarat Taubat
Pertama: Ikhlas
Hendaklah seorang bertaubat dengan niat yang ikhlas, yaitu
semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala dan agar mendapatkan
ampunan-Nya, bukan karena ingin dipertontonkan kepada manusia (riya’),
atau hanya karena takut kepada penguasa, ataupun kepentingan-kepentingan
duniawi lainnya. Karena taubat kepada Allah Ta’ala adalah termasuk
ibadah yang harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan
mutaba’ah (mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).
Kedua: Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan
Karena penyesalan menunjukkan kejujuran taubat seseorang, oleh karenanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
النَّدَمُ تَوْبَة
“Penyesalan adalah taubat.” (H
R. Ibnu Hibban dan
Al-Hakim, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shohihut Targhib, no. 3146, 3147)
Ketiga: Meninggalkan dosa
Meninggalkan dosa termasuk syarat taubat yang paling penting, sebab
itu adalah bukti benarnya taubat seseorang, maka tidak diterima
taubatnya apabila ternyata dia masih terus-menerus melakukan dosa
tersebut.
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
“Permohonan ampun tanpa meninggalkan dosa adalah taubatnya para pendusta.” (
Tafsir Al-Qurthubi, 9/3)
Adapun cara meninggalkan dosa, jika berupa kewajiban yang
ditinggalkan; adalah dengan melaksanakan kewajiban itu. Sedangkan dosa
melakukan perbuatan haram, maka wajib untuk segera meninggalkan
perbuatan haram tersebut dengan segera dan tidak boleh terus
melakukannya meskipun hanya sesaat.
Keempat: Bertekad untuk tidak mengulang kembali perbuatan dosa tersebut di masa mendatang
Apabila di dalam hati seseorang masih tersimpan keinginan untuk
kembali melakukan dosa tersebut jika ada kesempatan, maka tidak sah
taubatnya.
Kelima: Apabila dosa tersebut berupa kezaliman kepada orang
lain, maka harus meminta maaf dan atau mengembalikan hak-hak orang lain
yang diambil dengan cara yang batil
Seperti apabila seseorang pernah mencaci orang lain maka hendaklah
dia meminta pemaafan orang tersebut, atau seorang yang pernah mencuri
harta orang lain maka hendaklah dia meminta maaf dan mengembalikan harta
tersebut atau meminta penghalalannya.
Bahaya Perbuatan zalim
Kezaliman kepada orang lain merupakan dosa besar yang mengakibatkan
kebangkrutan besar pada hari kiamat. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ. قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى
يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ
شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا
وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ
مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab,
“Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak (lagi) memiliki dinar dan
harta”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari ummatku adalah seorang yang
datang (menghadap Allah Ta’ala) pada hari kiamat dengan (membawa pahala)
sholat, puasa, zakat, namun ketika di dunia dia pernah mencaci fulan,
menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, memukul
fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikan yang pernah dia lakukan untuk
diberikan kepada orang-orang yang pernah dia zalimi. Hingga apabila
kebaikan-kebaikannya habis sebelum terbalas kezalimannya, maka kesalahan
orang-orang yang pernah dia zalimi tersebut ditimpakan kepadanya,
kemudian dia dilempar ke neraka.” (
HR. Muslim, no. 6744)
Keenam: Taubat harus pada waktunya
Apabila seseorang baru mau bertaubat setelah lewat waktunya, maka
taubatnya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Adapun waktu
diterimanya taubat untuk setiap manusia adalah sebelum kematian datang
menjemputnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى
إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ وَلَا
الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan tidaklah taubat itu diberikan kepada orang-orang yang
mengerjakan kejahatan sampai ketika datang kematian kepada salah seorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam
keadaan kafir, bagi mereka telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (
An-Nisa’: 18)
Sedangkan waktu diterimanya taubat untuk keseluruhan manusia adalah
selama matahari belum terbit dari barat. Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ
مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ
اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu
malam agar bertaubat orang yang berbuat salah pada siang hari. Dan
membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar bertaubat orang yang
berbuat salah pada malam hari, (hal ini terus terjadi) sampai terbit
matahari dari barat.” (
HR. Muslim, no. 7165)
Ketujuh: Menerangkan kebenaran
Jika pelaku suatu dosa adalah pengajak atau penyeru kepada dosa
tersebut maka wajib atasnya untuk menerangkan kepada ummat (terutama
kepada pengikutnya) bahwa hal itu adalah kesalahan atau kesesatan.
Demikian pula, apabila dosanya berupa menyembunyikan kebanaran, maka
wajib baginya untuk menerangkan kebenaran tersebut.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ
وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ
أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا
الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ
عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu
dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima
taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (
Al-Baqarah: 159-160]
Bahaya Meremehkan Dosa
Inilah salah satu penghalang taubat, yaitu ketika seseorang
meremehkan perbuatan dosa yang dia lakukan karena menganggapnya sebagai
dosa kecil. Justru apabila seseorang menganggap remeh perbuatan
maksiatnya kepada Allah Ta’ala maka dia telah terjatuh pada dosa besar,
karena perbuatan menganggap remeh dosa merupakan satu bentuk dosa besar.
Dan dosa kecil sekali pun apabila dilakukan terus menerus, tentu akan
menjadi dosa besar, sebagaimana hakikat lautan yang luas hanyalah
kumpulan tetesan-tetesan air yang sanggup menjadi ombak yang besar.
Demikianlah dosa-dosa kecil, apabila berkumpul pada diri seseorang
niscaya akan membinasakannya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
إياكم ومُحقراتُ الذنُوبِ، كقَومٍ نَزلُوا في بطْنِ وادٍ فجاءَ ذا بعودٍ
، وجاء ذا بعودٍ حتى أنضَجُوا خبزتهم ، وإنَّ محقَّراتِ الذُّنوب متى
يُؤخذ بها صاحبُها تُهلِكْهُ
“Hati-hatilah dengan dosa-dosa kecil, (karena dosa-dosa kecil itu)
bagaikan suatu kaum yang turun di suatu lembah dan masing-masing orang
membawa satu ranting kayu bakar yang pada akhirnya bisa menyalakan api
hingga mereka bisa memasak roti mereka. Demikianlah dosa-dosa kecil,
apabila berkumpul dalam diri seseorang niscaya akan membinasakannya.” (
HR. Thabrani, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shohihah, no. 3102)
Maka hendaklah setiap kita bersegera untuk bertaubat kepada
Allah Ta’ala, terlebih lagi ketika kita tidak mengetahui kapan kita akan
dipanggil oleh Allah Ta’ala dan berpisah dengan kehidupan dunia ini,
untuk kemudian dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita.
Dan janganlah seseorang berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah
Ta’ala betapa pun besarnya dosa yang telah dia kerjakan, karena hakikat
seorang hamba yang baik bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa sama
sekali, tapi hamba Allah Ta’ala yang terbaik adalah seorang yang apabila
dia berbuat dosa, dia senantiasa bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
كُلُّ بنِي آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak adam senantiasa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang senantiasa bertaubat.” (
HR. At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah, dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shohihut Targhib, no. 3139)
Wabillahit taufiq, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.